Minggu, 23 November 2014

BEKAM WANITA HARUS OLEH WANITA

www.pusatpengobatantradisional.com - Banyak pertanyaan seputar pengobatan apalagi mengenai bekam, apakah boleh seorang terapis wanita membekam laki-laki bukan muhrimnya dan atau sebaliknya, terapis lelaki menerapis wanita bukan muhrimnya. 
Walaupun pada masyarakat umum berobat di rumah sakit atau berobat ke dokter hal ini tidak berlaku dan seolah-olah tidak mau diberlakukan, namun dikarena bekam merupakan pengobatan sunah jadi harus dengan muhrimnya?, itulah fenomena yang terjadi saat ini, walaupun sebaiknya memang berobat dengan sesama muhrim lebih baik. Karena saat ini sudah semakin banyak dokter wanita dan dokter laki-laki, dan pengetahuan masyarakat serta keinginan sebagian masyarakat sudah mulai berbebeda.
Namun sebuah pertanyaan besar pun muncul, bagaiman kalau terapis yang hanya bisa mengobati kita atau tahu cara mengobati penyakit yang kita derita adalah seseorang yang non muhrimnya, bagaimana hukumnya dan apakah harus merasakan sakit terus karena harus terpaku berobat dengan sesama muslim yang mungkin saja kurang diyakini dan belum bisa.
Dan masih banyak pernyataan dan pertanyaan lainnya, lalu bagaimanakah solusinya.
Menurut beberapa kajian secara syar'ibiila memang keadaannya darurat dan di sana tidak ada orang lain yang dapat mengobati laki-laki tersebut, maka dibolehkan bagi seorang wanita untuk mengobatinya ataupun sebaliknya, dengan dalil hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x, ia berkata:
كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ n نَسْقِي وَنُدَاوِي الْجَرْحَى وَنَرُدُّ الْقَتْلَى إِلَى الْمَدِيْنَةِ
“Kami (para wanita) pernah ikut dalam satu peperangan bersama Nabi n. Tugas kami adalah memberi minum kepada mujahidin, mengobati orang-orang yang luka, dan mengembalikan orang-orang yang terbunuh ke Madinah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2882, 2883).
Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya wanita ajnabiyyah mengobati laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) karena darurat. (Fathul Bari, 6/98)
Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah x juga pernah menceritakan:
غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n سَبْعَ غَزَوَاتٍ، أَخْلُفُهُمْ فِي رِحَالِهِمْ فَأَصْنَعُ لَهُمُ الطَّعَامَ وَأُدَاوِي الْجَرْحَى وَأَقُوْمُ عَلَى الْمَرْضَى
“Aku pernah ikut berperang bersama Rasulullah dalam tujuh peperangan. Aku yang menggantikan mereka untuk menjaga kendaraan/tunggangan mereka (para mujahidin), aku yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka-luka, serta merawat orang sakit.” (Sahih, HR. Muslim no. 1812)
Namun dalam hal ini harus diperhatikan sisi-sisi yang tidak mengundang fitnah (godaan) dan kerusakan, sehingga harus dihindari adanya khalwat (berduaan) antara si sakit dengan wanita yang mengobatinya. Atau wanita tersebut ketika mengobati si sakit, ditemani oleh mahramnya. Wallahu a‘lam.
Adapun bila di sana ada laki-laki yang bisa mengobati si sakit maka tidak dibolehkan ia diobati oleh wanita tersebut. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/542)
Bagaimana bila seorang wanita berobat ke dokter laki-laki? Maka permasalahannya sama dengan di atas. 
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin t ketika ditanya tentang permasalahan ini, beliau menjawab, “Berobatnya seorang wanita kepada dokter laki-laki karena tidak adanya dokter wanita tidaklah mengapa. Demikian yang disebutkan oleh ahli ilmu. Boleh baginya untuk membuka bagian tubuhnya yang sakit/ yang diperlukan untuk dilihat oleh dokter tersebut, namun wanita tadi harus ditemani oleh mahramnya dan tanpa berkhalwat dengan dokter tersebut, karena khalwat adalah perkara yang diharamkan. Tentunya hal ini sebatas keperluan.” (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 2/979)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i t berkata, “Menyentuh wanita ajnabiyyah (bukan mahram) tanpa ada keperluan/kebutuhan, tidaklah diperkenankan. Adapun bila diperlukan, seperti ia seorang dokter atau wanita itu sendiri seorang dokter dan tidak didapatkan dokter lain yang bisa mengobati si sakit selain dirinya, maka ketika itu dibolehkan menyentuh orang yang bukan mahramnya. Namun tetap penuh waspada terhadap fitnah (godaan) yang akan timbul.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 32)
Jadi kesimpulan dari penelusuran dan kajian dasar www.pusatpengobatantradisional.com pada dasarnya Rasulullah tidak melarang sesorang berobat atau di obati kepada selain muhrimnya, namun dengan di temani muhrim lainnya ( tidak berdua) untuk menghidari fitnah dan sebagainya. Namun jika memang ada dokter atau ahli pengobatan yang sama khasiatnya dan sesama muhrim itu jauh lebih baik.  Wallahu'alam.
Sumber : Di olah dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar