www.pusatpengobatantradisional.com -
Banyak pertanyaan seputar pengobatan apalagi mengenai bekam, apakah
boleh seorang terapis wanita membekam laki-laki bukan muhrimnya dan atau
sebaliknya, terapis lelaki menerapis wanita bukan muhrimnya.
Walaupun pada masyarakat umum berobat di rumah sakit atau berobat ke
dokter hal ini tidak berlaku dan seolah-olah tidak mau diberlakukan,
namun dikarena bekam merupakan pengobatan sunah
jadi harus dengan muhrimnya?, itulah fenomena yang terjadi saat ini,
walaupun sebaiknya memang berobat dengan sesama muhrim lebih
baik. Karena saat ini sudah semakin banyak dokter wanita dan dokter
laki-laki, dan pengetahuan masyarakat serta keinginan sebagian
masyarakat sudah mulai berbebeda.
Namun sebuah pertanyaan besar pun muncul, bagaiman kalau terapis yang
hanya bisa mengobati kita atau tahu cara mengobati penyakit yang kita
derita adalah seseorang yang non muhrimnya, bagaimana hukumnya dan
apakah harus merasakan sakit terus karena harus terpaku berobat dengan
sesama muslim yang mungkin saja kurang diyakini dan belum bisa.
Dan masih banyak pernyataan dan pertanyaan lainnya, lalu bagaimanakah solusinya.
Menurut beberapa kajian secara syar'ibiila memang keadaannya darurat dan
di sana tidak ada orang lain yang dapat mengobati laki-laki tersebut,
maka dibolehkan bagi seorang wanita untuk mengobatinya ataupun
sebaliknya, dengan dalil hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x, ia
berkata:
كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ n نَسْقِي وَنُدَاوِي الْجَرْحَى وَنَرُدُّ الْقَتْلَى إِلَى الْمَدِيْنَةِ
“Kami (para wanita) pernah ikut dalam satu peperangan bersama Nabi n.
Tugas kami adalah memberi minum kepada mujahidin, mengobati orang-orang
yang luka, dan mengembalikan orang-orang yang terbunuh ke Madinah.”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 2882, 2883).
Hadits
di atas menunjukkan dibolehkannya wanita ajnabiyyah mengobati laki-laki
ajnabi (yang bukan mahram) karena darurat. (Fathul Bari, 6/98)
Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah x juga pernah menceritakan:
غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n سَبْعَ غَزَوَاتٍ، أَخْلُفُهُمْ فِي
رِحَالِهِمْ فَأَصْنَعُ لَهُمُ الطَّعَامَ وَأُدَاوِي الْجَرْحَى
وَأَقُوْمُ عَلَى الْمَرْضَى
“Aku pernah ikut berperang bersama Rasulullah dalam tujuh peperangan.
Aku yang menggantikan mereka untuk menjaga kendaraan/tunggangan mereka
(para mujahidin), aku yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati
orang yang luka-luka, serta merawat orang sakit.” (Sahih, HR. Muslim no.
1812)
Namun dalam hal ini harus diperhatikan sisi-sisi yang tidak mengundang
fitnah (godaan) dan kerusakan, sehingga harus dihindari adanya khalwat
(berduaan) antara si sakit dengan wanita yang mengobatinya. Atau wanita
tersebut ketika mengobati si sakit, ditemani oleh mahramnya. Wallahu
a‘lam.
Adapun bila di sana ada laki-laki yang bisa mengobati si sakit maka
tidak dibolehkan ia diobati oleh wanita tersebut. (Jami’ Ahkamin Nisa’,
5/542)
Bagaimana bila seorang wanita berobat ke dokter laki-laki? Maka permasalahannya sama dengan di atas.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin t ketika ditanya tentang
permasalahan ini, beliau menjawab, “Berobatnya seorang wanita kepada
dokter laki-laki karena tidak adanya dokter wanita tidaklah mengapa.
Demikian yang disebutkan oleh ahli ilmu. Boleh baginya untuk membuka
bagian tubuhnya yang sakit/ yang diperlukan untuk dilihat oleh dokter
tersebut, namun wanita tadi harus ditemani oleh mahramnya dan tanpa
berkhalwat dengan dokter tersebut, karena khalwat adalah perkara yang
diharamkan. Tentunya hal ini sebatas keperluan.” (Fatawa al-Mar’ah
al-Muslimah, 2/979)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i t berkata, “Menyentuh wanita
ajnabiyyah (bukan mahram) tanpa ada keperluan/kebutuhan, tidaklah
diperkenankan. Adapun bila diperlukan, seperti ia seorang dokter atau
wanita itu sendiri seorang dokter dan tidak didapatkan dokter lain yang
bisa mengobati si sakit selain dirinya, maka ketika itu dibolehkan
menyentuh orang yang bukan mahramnya. Namun tetap penuh waspada terhadap
fitnah (godaan) yang akan timbul.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 32)
Jadi kesimpulan dari penelusuran dan kajian dasar www.pusatpengobatantradisional.com
pada dasarnya Rasulullah tidak melarang sesorang berobat atau di obati
kepada selain muhrimnya, namun dengan di temani muhrim lainnya ( tidak
berdua) untuk menghidari fitnah dan sebagainya. Namun jika memang ada
dokter atau ahli pengobatan yang sama khasiatnya dan sesama muhrim itu
jauh lebih baik. Wallahu'alam.
Sumber : Di olah dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar